Thursday, September 21, 2017

Negri di Bahu Awan

Dokumen Kemitraan

Oleh:Dewi Yunita Widiarti



Daun Pohon Tea yang terikat oleh liur makluk udara
Daun berputar ke kiri dan ke kanan
Dalam senyap terdengar suara syair …
Tak satu’pun orang ada disana saat itu
Hanya ada haparan jamur (romoe) di bawah daun…
Bergerak mengirimkan suara indah
Tamadume bercerita, Raigo di mulai dari kisah ini..


Namanya Malapahi, Salem Dumpa bilang butuh kurang lebih tujuh jam untuk membawanya dari hutan sampai ke desa. Diameter Malapahi tidak lebih dari 10 cm, tapi dari 2 batang malapahi yang di dapat, beratnya tidak kurang dari 2 ton. Butuh 20 orang warga untuk menariknya keluar dengan jarak 2 kilo. Malapahi bergerak ringan, ketika raego bersama di senandungkan. Tanda semesta melalui leluhur memberi restu ketika Lobo di rencanakan.

Bangunan itu seluruhnya dari kayu. Ada 20 kayu bulat berdiameter 10 cm yang tegak sebagai tiang penyanggah bangunan adat tersebut. Bukan dari jenis kayu biasa. Ada lari, loboh, entoveruk, kuhiok, madok, lajah. Di bagian tengah bangunan terdapat empat batu besar sebagai dasar bersusunnya pongkoto, potongan kayu bulat yang disusun tujuh lapis sebagai dudukan utama dari Lobo. Rumah adat Pipikoro di Porelea.

Permukaan kayu halus tidak rata, warga memotong dan membentuk kayu hanya menggunakan parang. Pondasi bangunan tidak berpaku. Lobo milik Porelea direkonstruksi dari bentuk Lobo terdahulu. Salem Dumpa bercerita, sebanyak 17 orang panitia pembangunan Lobo menyelesaikan bangunan adat tersebut tidak lebih dari 21 hari. Mulai dari mengambil kayu di hutan, sampai Lobo di resmikan. Pertanda leluhur kembali memberikan restunya.

Ada dua tangga yang berposisi di depan dan belakang Lobo. Tidak juga tepat disebut dengan tangga pada umumnya, karena hanya berupa papan kayu Kumeh yang di pahat berjenjang untuk memudahkan ketika kaki berpijak  ketika menjangkau ruang atas bangunan. Sekeliling ruang nampak lenggang. Terdapat satu tiang raja berposisi tepat di tengah bangunan, jenisnya kayu Betauk. Kepala sapi bertanduk, tergantung tepat di atas tiang. Untuk lantai digunakan jenis kayu susuh, diameternya berukuran lebih besar dari jenis kayu lainnya. Hanya susuh yang di potong dengan chainshaw, karena sangat tidak memungkinkan Lobo selesai cepat jika susuh juga di parang menjadi papan.

Atap Lobo juga berasal dari kayu kumea yang dipotong pipih.  Jumlahnya mencapai 7000 lembar. Setiap lembar terikat pada rengbambu, sedang pertemuan satu kayu dengan potongan kayu lainnya hanya di ikat dengan tali rotan. Rotan di anggap sebagai tali yang paling kuat untuk mengikat. Lobo tidak hanya berfungsi sebagai tempat membicarakan urusan adat. Tapi juga punya fungsi social. Lobo bisa di gunakan untuk bermalam bagi siapapun yang membutuhkan.

Perapian kayu ada di salah satu sisi ruangan. “saat diskusi perapian akan di hidupkan. Api di jaga agar tidak padam. Semua harus berpendapat, jangan kalah dengan api!” Salem Dumpa menjelaskan salah satu filosofi perapian adalah semangat bermusyawarah. Diskusi harus memperoleh hasil, harus ada jalan keluar yang ditemukan. Lobo penuh akan makna, sarat akan pesan. Akal tidak akan bisa menjawab semua tanya dari penggalan-penggalan cerita. Itu karena semesta memberi restunya.

Porelea kami tempuh selama kurang lebih 4 jam untuk jarak sekitar 73 Km dari Kota Palu menggunakan bus. Kendaraan roda empat hanya bisa mengantar hingga Gimpu (Tomua), selanjutnya perjalanan diteruskan dengan kendaraan roda dua. “kurang lebih dua jam untuk tiba di Porealea,” ojek motor menjelaskan. Dua jam itu hanya pergeseran dua garis kecil pada penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangan. Jumlahnya 120 menit.  Tapi untuk pengunjung baru seperti kami yang tidak pernah bertemu dengan rute perjalanan terjal dengan banyak tikungan curam seperti itu, rasanya seperti satu tarikan nafas..tertahan..menimbulkan cemas dan panik. Lega baru terasa ketika roda motor menjejak rabat beton. Hingga mencapai Porelea, sebuah negeri di bahu awan.

Pemukiman yang di bangun diatas punggung pegunungan tersebut menampilkan potret desa yang tertata rapih, punya lingkungan yang bersih dan berpenduduk kurang lebih 984 jiwa. Satu bangunan gereja tegak lebih menonjol dari bangunan rumah lainnya. “9 tahun gereja baru selesai di bangun, menghabiskan dana 1, 5 M swadaya masyarakat. Selesai gereja berdiri, warga baru menata desa dengan fasilitasnya,” Budi salah satu staf Karsa menceritakan sedikit sejerah keberadaan gereja.

Meski jauh di daerah terpencil, pemukiman ini sudah menikmati listrik yang bersumber dari tenaga kincir air. Satu kincir menyalurkan listrik maksimal untuk 10 rumah. Warga yang mengambil sambungan listrik diminta menyetorkan 1 juta diawal pemasangan, sedang setiap bulannya membayar tagihan listrik dengan bentuk tenaga. Satu balon berarti satu hari bekerja untuk si pemilik kincir. Biasanya warga membayar tenaga setiap akhir bulan.

Jalan rabat beton menjadi jalan setapak bagi lalu lintas warga, fasilitas ini terbilang baru. Sebelum fasilitas itu ada, pasca hujan warga sangat enggan keluar rumah karena tanah menjadi sangat becek, licin; motor pun kerap tergelincir dan dipenuhi lumpur. 

Mayoritas masyarakat adat Porelea adalah petani, disamping berladang mereka juga menanam kopi dan kakao sebagai tanaman tahunan utama. Lahan pekarangan disekitar rumah juga termanfaatkan sangat baik. Tidak hanya di tanam bunga pemanis pagar, tapi kantong-kantong polibag dengan tanaman daun bawang, sawi, seledri, labu siam juga tumbuh subur untuk memenuhi kebutuhan harian rumah tangga.  Sebagian warga juga beternak. Babi dan ayam menjadi pilihan ternak yang di pelihara.

Porelea di huni para penjaga bumi, Budi menyebutnya demikian untuk kemuliaan prilaku masyarakat Porelea terhadap lingkungan. Adat mengikat laku dan mengatur sendi kehidupan masyarakat dengan sangat baik. Adat ditempatkan pada bagian termulia sebagai ruh yang menggerakan Porelea. Kearifan dan kecintaan masyarakat pada hutan, bumi, tanah dan air  tampak jelas pada upaya masyarakat  memperlakukan alam. Porelea percaya, semesta memberi sebagaimana warga berbuat.  Kebaikan berbalut adat tertangkap ketika Raego dilakukan

Syair itu bermakna, siapa yang membentuk dan membelah jari-jarimu sehingga engkau bisa menggengam? Siapa yang bisa membuka pelupuk matamu sehingga engkau bisa melihat?
Begitu indah cara  Tuhan berkomunikasi dengan Manusia...

Tidak ada padanan kata yang tepat untuk menjelaskan apa itu Raego. Budaya Raego sebetulnya tidak hanya milik Porelea, desa lain di Pipikoro juga mengenal Raego tapi tidak lagi menerapkannya sebagaimana Porelea masih mempertahankannya. Ada gerak, ada lagu, ada pinta, ada puja, ada sastra, ada doa pada bait-bait Raego.  Raego merupakan bentuk berkomunikasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan manusia dalam konteks menjaga keselarasan.

Raego seperti gambaran daur hidup, melekat pada setiap ritual aktivitas Porelea. Membuka hutan ada Raego nya. Menaman ada raego, membuka ladang ada raego, menebang ada raego, perkawinan ada raego, kelahiran ada Raego, pertemuan ada raego, perpisahan ada raego, begitu pun prosesi kematian ada raegonya.

Raego akan ada pada setiap acara adat Porelea.  Iramanya sama, yang membedakan hanya syair yang di lafazkan saat kumpulan orang bergerak serempak membawakan tarian Raego bermakna penyampai pesan. Raego akan di wariskan pada penjaga bumi selanjutnya, Karel, Kepala Desa Porelea memastikannya melalui rencana kerja desa.

Di Porelea, Lembaga Adat berdamping selaras dengan pemerintah desa. “Kalau pun ada permasalahan, tidak bisa langsung di bawa ke ranah hukum. Prosesnya harus lebih dahulu diselesaikan adat. Lembaga adat di pilih oleh desa. Selain factor keturunan, yang duduk pada lembaga adat haruslah orang yang menguasai adat itu sendiri.  Ada 11 orang terpilih di lembaga adat, 3 diantaranya perempuan,ujar Karel secara tegas. Sedang musyawarah dan kegotong royongan menjadi penggerak yang semakin menguatkan keberadaan Porelea.   
    
Pagi itu Raego di lakukan...
Syair bermakna perpisahan menjadi penutup kebersamaan kami di Porelea. Syair yang tidak kami mengerti dalam kata, tapi hati kami memahami ada pesan kesedihan disana. Banyak cerita yang akan kami bawa tentang Porelea, pesan kebaikan yang di tinggalkan para leluhur dan terjaga oleh adat. Kami berbisik dalam do’a, semoga semesta selalu memberikan restunya pada Porelea. ****