Tuesday, September 19, 2017

Pipikoro, Dataran Tinggi yang Damai

*Sebuah Perenungan dari Proses Cross Learning Program Peduli




Pada punggungan, cerukan, dan ngarai pegunungan Tokalekaju pada jantung Sulawesi aku menemukan kebanggaan pada raut wajah kalian.

To Po Uma, itulah mereka manusia-manusia tangguh dari pipikoro...
Berbicara hutan dengan mereka,adalah berbicara jiwa yang terluka. Sejak jaman Belanda mereka berjuang tentang ruang hidup. Belanda melakukan kebijakan Asas domein verklaring termuat dalam pasal 1 Agrarische Besluit sebagai ketentuan pelaksanaan Agrarische Wet. 

Kebijakan kolonial seperti Agrarische Wet 1870, Bosch Ordonantie voor Java en Madoera 1865, dan Bosch Ordonantie 1927 menjadi legitimasi pemerintah Hindia Belanda untuk menetapkan kawasan hutan. Sekaligus menjadikan pengertian agraria sebagai pengertian yang terpisah antara kawasan dalam dan luar hutan.

Praktek kebijakan yang memisahkan konsep agraria ini kemudian menjadi warisan rezim penguasa selanjutnya. Meski setelah kemerdekaan Indonesia memberlakukan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, namun pengaturan kehutanan diatur tersendiri.

Ketika pemerintah Orde Baru berkuasa, diterapkanlah Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 yang merupakan karpet merah untuk mengeksploitasi hutan. Mereka mengeluarkan ijin-ijin seperti HPH, HPHH, dan HTI bagi perusahaan untuk mengeksploitasi hutan.

Sejarah Pipikoro mencatatkan banyaknya peristiwa-peristiwa pemindahan penduduk, pengusiran, pembatasan akses, dan kriminalisasi terkait dengan pengaturan kawasan hutan, yang dilakukan di masa pemerintahan kolonial, hingga rezim pemerintahan Republik Indonesia.proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) yang digelar Dinas Sosial di alami juga oleh mereka. Sebagian masyarakatnya mengalami Stigma dengan penyebutan "Totole" atau orang liar,orang hutan,orang tidak berpendidikan.

Upaya-upaya tersruktur ini menjadi bagian dari upaya Negara untuk mengukuhkan kekuasaannya atas sumberdaya hutan.

Kekinian mereka telah membuktikan konsep pengelolaan ruang secara tradisional ternyata mampu menjaga kelestarian hutannya. Mereka adalah warga negara yang tetap membayar pajak walaupun infrastruktur jalan sangat memprihatinkan.Mereka terbentuk dari kerasnya alam. Survive dalam kelentingan yang luar biasa. Setia seperti aliran sungai Lairiang.

Siang itu kami berpamitan dalam ucapan singkat untuk melepas kepergian... "Hanya ini yang bisa kami berikan untuk menerima kedatangan kalian...Keadaan kami yang apa adanya.
Jika ada kata dan tindakan kami di kampung ini,yang salah tolong maafkan kami"... Banyak kata yang memang tidak bisa terucap.. Tapi itulah gambaran Kesederhanaan.

Atas nama Karsa Institute Sulteng kami juga meminta maaf ke kawan-kawan peserta Cross Learning jika ada tindakan kami yang di sengaja maupun tidak, dan menyinggung hati kawan-kawan... Kami memohon maaf. Dan semoga kita semua bisa belajar sesuatu dari kegiatan ini.