Wednesday, May 31, 2017

Riset Tentang Dayak Kenyah, Kader Peduli Diundang ke Norwegia

Asman Azis

Jakarta-Studi mengenai pergulatan agama, pariwisata dan ruang hidup masyarakat Dayak Kenyah di Lung Anai, Kalimantan Timur  mengungkapkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara hancurnya sumber daya alam di Kalimantan Timur (Kaltim) dengan dimulainya operasi militer pemerintah Indonesia tahun 1965 di sana.

Hal tersebut diungkapkan Asman Azis, Program Manager Desantara, saat menghadiri rapat konsolidasi Program Peduli, pilar Masyarakat Adat yang diselenggarakan Partnership-Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Jakarta, Kamis (1/6) kemarin.

“Saat itu jika ada warga yang tidak memeluk agama versi negara, mereka diintimidasi oleh militer dan dituduh PKI,” tegas Asman yang juga Ketua Lakpesdam NU Kaltim.

Dikatakannya, pada 1963, saat pemerintah Indonesia melancarkan operasi penumpasan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku), disusul dengan peristiwa 30 S/PKI  pada tahun 1965, orang Dayak Kenyah yang tidak memeluk salah satu agama resmi negara bukan saja dicap sebagai PKI, bahkan banyak yang disiksa serta dibunuh.

Kondisi inilah yang kemudian kata Asman, memuluskan berbagai praktik eksploitasi Sumber Daya Alam di Kalimantan, berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pertambangan dan perkebunan bersekala besar yang merugikan masyarakat Dayak, terutama Dayak Kenyah. Dimana selama 1996-2012 saja, Kaltim kehilangan hutan alam rata-rata seluas 92.900 hektare per tahun. Sementara secara nasional Indonesia kehilangan hutan seluas 684.000 hektar pertahun, kondisi ini diperparah lagi dengan maraknya alih fungsi lahan serta kebakaran hutan yang terus menerus terjadi. 

“Di dalam salah satu chapter tesis saya itu, secara khusus membahas bagaimana peran Program Peduli dalam mendorong restorasi nilai-nilai budaya dan pengakuan terhadap masyarakat Adat Dayak Kenyah.  Saya menyebutnya constructive engagement,” kata Asman.

Warga Dayak Berladang di dekat Tambang Batu Bara, di Kaltim
Karena sejarah konflik yang panjang tersebut, serta konflik tenurial dengan pemodal  membuat masyarakat adat Dayak Kenyah terpojok dan tidak memiliki ruang untuk hidup dan menjalankan nilai-nilai budaya mereka masyarakat adat yang sekaligus juga adalah warga negara.

Penelitian untuk tesis yang dilaksanakan selama pelaksanaan Program Peduli 2017-2016 di Lung Anai ini, membuat Asman (yang baru saja menyelesaikan studinya di Center for Religious and Cross Culture Studies (CRCS), Sekolah Pasca Sarjana UGM) diundang oleh Royal Norwegian Ministry of Climate and Environment dan UNDP untuk menghadiri pertemuan Interfaith rainforest initiative di kota Oslo, Norwegia pada 19-21 Juni 2017 mendatang.

Pertemuan Lintas Iman, deforestasi dan perubahan iklim ini adalah salah satu agenda terkait kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia tentang RDD+ yang sudah dimulai sejak Mei 2010.

Terpilihnya Asman untuk menghadiri pertemuan tersebut, juga tidak terlepas dari locus penelitiannya yang mengambil studi kasus di Kaltim. Dimana hanya tinggal 3 pulau saja di Indonesia (Sumatera, Kalimantan, dan Papua) yang relatif masih punya hutan, namun juga sangat cepat laju deforestasinya. Dan hutan di ketiga pulau ini pula yang masih tersisa dan dapat diandalkan untuk mengurangi efek rumah kaca. (Mering)