Monday, March 19, 2018

Surat Peduli dari Sigi

Ilustrasi by mering
Puan-puan dan tuan-tuan yang berbahagia,

Kutulis surat ini di suatu senja, tepat di jantung pulau yang mirip huruf K, Pulau Sulawesi namanya.

Saat itu aku duduk di beranda rumah kepala Desa Peana, saat warna cahaya matahari yang mirip lempeng biskut raksasa itu berpedar jingga, timbul tenggelam di celah-celah awan, di balik punggung bukit, dataran tinggi Pipikoro, Sigi, Sulawesi Tengah yang tentu saja masih bagian dari Indonesia.

Ohya, kutulis surat ini sambil menyerumput secangkir kopi yang legendanya telah mengalahkan rasanya sendiri, bahkan berpotensi menyalip nama besar kopi luwak yang sering puan-puan dan tuan-tuan nikmati.

Namanya Toratima, biji kopinya berasal dari hasil metabolisme mamalia yang banyak hidup di hutan-hutan Sulawesi.

Jika puan-puan dan tuan-tuan di ruangan ini datang ke Desa Peana 4 tahun silam, maka puan-puan dan tuan-tuan hanya akan disuguhi kopi sachet buatan pabrik. Padahal rumah-rumah mereka dikepung kebun kopi.

Mereka takan sudi berbagi kopi aneh ini dengan kita. Bukan karena pelit, bukan…..mereka hanya merasa malu menyuguhkan biji kopi ampas bungan tangali, tupai dan paniki.

Kali pertama team Kemitraan bertandang ke sana, mereka menyembunyikan jauh-jauh kopinya di sudut dapur, di dalam kaleng bekas biskuit.

Dulu tak ada yang mau datang ke Pipikoro jika tak terpaksa. Desa-desanya berada di balik bukit, jalannya hanya pas-pasan untuk satu ban sepeda motor, berkelok kelok di antra bibir jurang yang dalam.

Siapa yang pernah menduga, kopi Toratima menjadi jembatan inklusi di Kabupaten Sigi, bahkan berhasil membuat sekitar 3500 orang dari Sabang sampai marauke datang ke Desa Peana, tak terkecuali pejabat negara dari kementerian RI,

Disanalah pertama kalinya aku bertemu bupati Sigi, yang memboyong hampir semua SKPD-nya ke Peana, meresmikan festival kopi yang kami selenggarakan.

Sang bupati benar-benar tak sekadar berjanji sebagaimana kebanyakan politikus di negeri ini. Dia pun membuat sejumlah terobosan, salah satunya dengan membuat kebijakan yang inklusif.  

Sejak saat itu pula, lereng-lereng bukit dia tebang, ngarai dia ratakan. Dia juga memperlebar 60 km jalan yang menghubungkan desa-desa disana.

Puan-puan dan tuan-tuan sekalian
Ada banyak lagi perubahan yang terjadi selama 4 tahun program Peduli. Ada 51 desa di 10 Provinsi wilayah kerja 10 mitra kami, untuk membantu komunitas mengembangkan potensi sumber daya lokal yang mereka miliki.

Mulai dari pesona budaya hingga produk kopi. Mulai dari kampung suku Topo Uma di Sulawesi hingga Suku Sawang yang tersisa 202 orang saja di negeri Laskar Pelangi.  

Kalau dulu orang Kasepuhan dikejar-kejar petugas konservasi, kini mereka bersuka cita karena hutan Adat mereka sudah diakui melalui SK Menteri.

Kalau perempuan Cina Benteng dulu dicap pemalas, menari hanya untuk menggoda lelaki, kini sudah memberdayakan 382 orang dari berbagai latar sosial melalui Koperasi. 

Puan-puan dan tuan-tuan bisa bayangkan jika berbagai inisiatif ini mendapat dukungan yang lebih luas lagi dari KLHK, Menteri Agraria dan para menteri lainnya di negeri ini.

Puan-puan dan tuan-tuan yang mulia dan saya banggakan
Masyakat adat itu sederhana, kok.  Mereka tak meminta lebih dari yang mereka butuhkan. Kalau mereka butuh kail, janganlah mendirikan pabrik ikan. Jika mereka butuh rasa aman, jangan cekik mereka dengan banyak peraturan. Walau pun adat dan agama berbeda dengan orang kebanyakan, mereka juga ingin sama-sama menjadi paripurna sebagai rakyat Indonesia.

Terimakasih
Peana, 2017